Seorang Barista pada umumnya harus bisa memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan para pelanggan, namun bagaimana jika Barista dan pelanggan tersebut memiliki cara berkomunikasi yang berbeda? Hal ini lah yang dialami oleh Wahyu Ahmad Dullah yang akrab dipanggil dengan Fai, pria berusia 23 tahun kelahiran Boyolali. Ia kehilangan setengah pendengaran di telinga kanan, dan tuli total pada telinga kiri. Dengan identitasnya sebagai Tuli, Fai berkomunikasi dengan bahasa isyarat dan baca bibir.
Berawal dengan keikutsertaannya dalam pelatihan Barista yang diadakan oleh Sunyi Academy di Jakarta, rasa percaya diri Fai meningkat. Pelatihan ini merupakan bagian dari Employment and Livelihood project yang diselenggarakan empat badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Indonesia, termasuk ILO. Program ini mendapat dukungan pendanaan dari UN COVID-19 Response and Recovery Multi-Partner Trust Fund (UN MPTF).
Melihat kedisiplinannya selama pelatihan, dan potensi yang tinggi untuk menjadi seorang barista profesional, Fai telah dilirik oleh Sunyi untuk menjadi barista Tuli di Sunyi Coffee cabang Jogjakarta.
Perjalanan Fai menjadi seorang barista Tuli di Sunyi Coffee melewati banyak tantangan dan rintangan yang ada, salah satunya yaitu saat berhadapan langsung dengan pelanggan. Walaupun Fai sudah berlatih untuk berinteraksi langsung dengan para pelanggan saat menjalankan magang di pelatihan Barista, namun rasa canggung dan takut masih dirasakan Fai saat memulai karirnya sebagai seorang Barista. Namun hal ini tidak menyurutkan semangatnya dalam bekerja. Fai ingin menunjukkan bahwa dengan menjadi seorang Tuli bukan berarti seseorang tidak dapat berkomunikasi, ia ingin memperkenalkan bahasa isyarat kepada para pelanggan yang datang.
Di tengah pandemi COVID-19 ini, Fai yang juga seorang penari ini, lagi – lagi mendapatkan tantangan dalam berkomunikasi. Dengan diharuskannya semua orang memakai masker, menyulitkan seorang Tuli untuk bisa membaca bibir lawan bicara. Fai dan para barista Tuli menyiasati hal ini dengan mengajak para pelanggan yang datang untuk berisyarat, menulis, ataupun menunjuk gambar menu untuk berkomunikasi dengan mereka. “Justru ini menjadi momen kami untuk bisa mengajak orang tidak takut berkomunikasi dengan menggunakan isyarat, gerak tubuh maupun tulisan,” kata Fai.
Kini Fai tidak hanya menjadi seorang penari Tuli yang aktif dalam melestarikan tarian khas adat Jawa, namun ia juga menjadi seorang Barista Tuli yang aktif mensosialisasikan bahasa isyarat dan budaya Tuli ke banyak orang. Ia ingin membuktikan bahwa Tuli adalah setara dengan orang dengar, “Tuli bisa bekerja, berkarya, sama dengan orang dengar. Yang tidak bisa Tuli lakukan hanyalah mendengar” ujar Fai mengakhiri ceritanya.